Kesenian reog identik dengan keperkasaan

[ Sabtu, 24 Oktober 2009 ]

Bocah-Bocah Perkasa dalam Seni Reog

Kesenian reyog identik dengan keperkasaan. Ada sekelompok orang menari dengan gerakan-gerakan gagah. Beberapa menampilkan atraksi mendebarkan. Segelintir lagi menandak-nandak menyunggi topeng Dadak Merak seberat puluhan kilo. Bagaimana jika itu semua dilakukan oleh bocah-bocah?

---

Agus Widianto begitu bangga pada giginya. Ya, bagi lelaki 14 tahun itu, giginya adalah peranti penting dalam memainkan Singo Barong atau Dadak Merak, patung superbesar yang melambangkan kepala singa yang berpadu dengan burung merak tersebut. Berkali-kali dia mengetuk giginya yang putih itu. Seolah menunjukkan bahwa giginya masih sangat kuat untuk menggigit Dadak Merak.

Sudah setahun terakhir Agus menari dengan Dadak Merak seberat sekitar 20 kilogram tersebut. "Awalnya kemeng (ngilu, Red)," ungkap Agus saat ditemui di tempat latihan Reog Mini Tri Guna Bhakti di Pasar Setro kemarin. Rasa kemeng itu baru hilang setelah dia berlatih empat-lima kali.

Dadak Merak alias Singo Barong tersebut memang pertunjukan wajib dalam kesenian reog Ponorogo. Itu adalah perlambang Prabu Singabarong dari Kerajaan Lodaya yang ditaklukkan Prabu Kelana Sewandana dalam perebutan putri Kediri, Dewi Sanggalangit.



Singo Barong yang sejatinya sakti itu dikalahkan oleh cambuk sakti Kelana Sewandana. Begitu saktinya cambuk tersebut, kepala Singo Barong, raja berkepala singa itu, sampai dijadikan satu dengan burung merak piaraannya. Lalu, manusia dengan kepala singa dan merak itulah yang menjadi salah satu mas kawin pernikahan Kelana Sewandana dan Dewi Sanggalangit.

Dalam pentas reog dewasa, Dadak Merak bisa selebar 2,3 meter dengan tinggi hampir 2,5 meter. Beratnya, wah, 50 kilogram alias setengah kuintal.

Nah, karena Agus berperawakan besar dan kekar dibanding sebayanya, dia didapuk memainkan Singo Barong. Tentu, ukurannya tak seperti milik pemain dewasa. Singo Barong untuk Agus bertinggi sekitar 1,5 meter, lebar 1 meter, dan beratnya 20 kilogram.

Agus, siswa kelas 9 SMP itu, kali pertama menjadi barong setelah pentas di Ponorogo untuk acara Gerebek Sura 2008.

Sebelumnya, dia berperan sebagai patih Prabu Kelana Sewandana yang setia, yakni Bujangganong. Dalam sebuah versi, Bujangganong adalah penggawa yang menemani Kelana Sewandana mencari pujaan hatinya bersama prajurit berkuda. Nah, prajurit berkuda itulah yang lantas menjadi jathil atau jathilan dalam pentas reog.

Agus memang harus menerima tawaran sebagai Singo Barong itu. "Soalnya, di kelompok nggak ada yang mbarong," ungkap Agus yang juga bisa berperan sebagai Warok tersebut.

Ketua Umum Persatuan Unit Reog Ponorogo Surabaya (Purbaya) Moch. Yatemin Gianto, yang juga ketua grup reog tempat Agus berkarya, menilai Agus sebagai pemuda yang cepat belajar. Karena itu, saat mempersiapkan tim reog untuk Festival Reog Mini Ulang Tahun Ke-513 Ponorogo, dirinya langsung mendapuk Agus sebagai pembarong. "Dia satu-satunya yang mbarong-nya lancar. Yang lain masih belum siap," katanya saat mendampingi Agus berlatih.

Pilihan Yatemin, tampaknya, tidak salah. Sebab, penampilan perdana Agus di Festival Reog Mini mampu membawa Tri Guna Bhakti sebagai satu-satunya delegasi Surabaya yang meraih peringkat keenam se-Indonesia. Ketika kembali ke metropolis, pelatih dan Yatemin menetapkan laki-laki kelahiran 20 Agustus 1994 tersebut sebagai calon pembarong reog dewasa. "Selama anaknya mau, tidak ada yang tidak mungkin," tambahnya.

Agus semakin mantap menjadi pembarong karena tariannya yang lebih menarik dan variatif. Gerakan Ganong, sang pendamping Prabu Kelana, dirasa kurang mengakomodasi fisiknya yang tinggi. Meski, untuk menjadi Singo Barong, dia harus berlatih keras untuk membiasakan mulutnya menggigit topeng Dadak Merak.

Kini, Agus mahir dengan berbagai gerakan Singo Barong. Gerakan bergulung hingga kayang sudah dikuasai. Padahal, saat awal mengemban tugas menjadi Barong, dia merasa kesulitan mempelajari trik berguling lantas mengangkat topeng tersebut dengan cepat.

Dalam setiap latihan, Agus pun mencoba menambah kemahirannya dalam menari. Salah satu gerakan yang menurut dia paling susah adalah gerakan mengibaskan kepala Singo Barong ke depan. Bulu-bulu merak yang menjuntai itu sering merepotkan karena membuat keseimbangannya gampang terganggu. "Sampai sekarang saya masih belum bisa gerakan ngibas ke depan karena topengnya terasa sangat berat," ungkapnya.

Penggunaan kekuatan gaib yang kerap dilayangkan kepada pembarong juga tidak dia digunakan. Bahkan, warga Bulak Cumpat itu tidak tahu-menahu mengenai penggunaan kekuatan mistis untuk memberikan kekuatan ekstra saat mengangkat Dadak Merak dengan giginya. "Saya hanya rajin berlatih dan gosok gigi untuk menjaga kebersihan gigi supaya tetap sehat dan kuat," jelasnya.

Berbagai peran yang pernah dia lakoni itu membuat Agus menjadi matang tampil di berbagai even pertunjukan. Berawal dari pentasnya di Balai Pemuda kali pertama pada 2007, reog telah membawanya bepergian jauh dari Surabaya menuju Ponorogo hingga dua kali. Terakhir, dia bersama tim Reog Mini Tri Guna Bhakti mewakili Surabaya dalam Festival Reog Mini di Ponorogo pada Agustus lalu.

Meski sebatas pergi ke kota asal reog, Agus tersenyum semringah. Sebab, pekerjaan ayahnya yang hanya sebagai juru parkir di RSUD dr Soetomo membuat kesempatannya untuk melancong ke luar Kota Pahlawan dirasa mustahil. "Saya ingin menyenangkan orang tua. Tidak ingin membebaninya kalau ingin jalan-jalan," tegasnya.

Karena itu, uang Rp 35 ribu-Rp 50 ribu yang didapat setelah pementasan menjadi sangat berarti. Dia bangga bisa menghasilkan uang dengan kucuran keringatnya. "Orang tua saya bilang, ikut reog yang niat. Kalau gak niat yo mending gak usah," ucapnya menirukan perkataan Sudiran, ayahnya.

Ucapan tersebut, tampaknya, memacu semangat Agus untuk mempelajari reog. Instrumen pengiring seperti ketipung, angklung, dan salompret yang menyuarakan nada unik membuat dirinya semakin jatuh cinta pada kesenian asli Indonesia tersebut.

Karena itu, meski di sekolahnya terdapat ekstrakurikuler marching band dan pencak silat, dia tetap memilih reog. Sejak pertama masuk ke Yayasan Sekolah Tri Guna Bhakti, dia langsung belajar sungguh-sungguh. "Meski bukan asli Ponorogo, saya bangga bisa bermain reog. Kalau bisa hingga menjadi pemain profesional," tegasnya. Sumber : (dim/dos)

Comments

Popular posts from this blog

Reog Dulu dan Sekarang : di Balik Tirai Warok-Gemblak

Menikmati suasana pasar malam Ponorogo