Apakah reyog masih menjadi roh Ponorogo?
Salah satu komunitas reyog Ponorogo di Australia (Singo Sardjono) Pertanyaan ini tiba-tiba muncul setelah beberapa hari menemani teman-teman sineas Ponorogo saat workshop sinematografi dalam rangka Festival Film Ponorogo (FEFO) 2014. Banyak sekali ide dari teman-teman sineas (mungkin lebih tepatnya calon ya hehehe) yang menyentil ‘keangkuhan’ reyog sebagai identitas Ponorogo. Saya sengaja memakai kata ‘keangkuhan’ karena satu hal, reyog hanya nempel seperti slogan dan tidak sadar sedang ditinggalkan oleh masyarakatnya. Ini satu ‘tuduhan’ serius yang harus dibuktikan dan sayangnya saya hanya bisa menuduh. Tuduhan ini saya lontarkan karena sampai saat ini saya tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan seperti : Apakah perempuan boleh jadi bujang ganong? Apakah perempuan berjilbab boleh menjadi jathil? Apakah reyog harus memakai ritual? Apakah boleh reyog tanpa jathil? Dan apakah-apakah lain yang membuat anak-anak muda seperti enggan menyentuh reyog. Dan sangat bisa dimakl