Kampung Reog Surabaya

Turun Temurun Seni di Kampung Reog
Published by admin on May 29, 2010 filed under ART AND CULTURE ·

Mustahil rasanya membawa topeng seberat 60 kilogram di leher hanya dengan gigi. Tetapi berkat latihan fisik dan spiritual, seorang penari reog bisa membawa topeng berbentuk kepala singa plus mahkota yang terbuat dari bulu merak. Adegan singa barong itu biasanya menjadi klimaks dalam seni pertunjukan reog. Diiringi nada salendro dan pelog yang digaungkan ketuk, kempul, genggam, kenong, ketipung, angklung, dan salompret, penari reog beraksi.

Ada lima macam tarian dalam satu paket pertunjukan reog. Awalnya musik dimainkan, kemudian muncullah warok. Laki-laki berpakaian serba hitam dengan tali putih melilit di pinggang. Tari lainnya berupa ganongan, jatilan, kelono suwandono, dan singa barong. Para warok dan penari-penari lain adalah pendamping buat singa barong. Dalam satu grup reog, bisa terdiri sampai 40 orang.

Beragam versi cerita beredar soal sejarah reog. Menurut Wikipedia, versi resminya adalah pertarungan ilmu hitam antara pasukan Raja Ponorogo dengan Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri atas merak dan singa, sedangkan Raja Kelono dari Ponorogo dikawal para warok. Tetapi tidak semua cerita dalam pertunjukan reog tentang perang. Kalau reog dipentaskan di pernikahan biasanya muncul adegan percintaan, di khitanan muncul cerita pendekar.

Sejarah reog beserta warisan budayanya berkembang di Ponorogo, ke seluruh daerah di Indonesia, bahkan sampai luar negeri. Malaysia boleh mengakui reog sebagai budaya mereka, tetapi reog yang asli tetaplah reog ponorogo. Di Surabaya, reog asli Ponorogo adanya di Jalan Gubeng Kertajaya V/ 8. Sebuah gang yang menamakan diri “Kampung Reog”. Mencarinya tidak sulit, karena di mulut gang terdapat gapura berbentuk tarian reog yang dibangun pada 1998.

Di sana, Sanggar Seni Reog Singo Mangku Joyo berdiri. Sejak 1951, turut meramaikan dunia seni Surabaya. Kalau ingin mementaskan reog dalam event tertentu, sanggar itulah yang dituju. Tak jarang turis asing datang untuk menyewa seni pertunjukan reog. Biaya pertunjukan dalam kota sekitar Rp 4 juta. Untuk luar kota, masih ditambah biaya transportasi dan akomodasi selama beberapa hari di kota tujuan.

Kini, sanggar khusus tari-tarian reog itu telah bergulir sampai ke tangan generasi ketiga. Sugianto menuturkan, sejak kecil ia sudah dibiasakan hidup untuk melestarikan reog. Kini ia menjadi pengelola sanggar, sekaligus satu dari 10 pengajar reog di sana. Meskipun kelahiran Surabaya, Sugianto mewarisi darah penari reog dari orang tuanya yang asli Ponorogo. “Di kampung ini mayoritas penduduknya asli Ponorogo, dan jadi penari reog, makanya disebut ‘Kampung Reog’,” katanya.

Sanggar Singo Mangku Joyo biasa latihan hanya setiap akan ada event atau festival. Tetapi menurut Sugianto, karena sudah terbiasa menari reog, tanpa latihan pun 40 anggotanya bisa tampil dengan baik. Sanggar itu pernah mengikuti festival di Ponorogo, Jember, Semarang, dan Jakarta. Mereka bahkan sampai tampil di Australia, Malaysia, Bangkok, dan Italia.

“Sebelum Malaysia mengakui reog saya sudah diundang pentas di sana. Jadi Malaysia itu bikin kisruh saja kalau mengakui reog budaya mereka,” komentar Sugianto menanggapi klaim budaya oleh negara tetangga.

Pria kelahiran 1963 itu membuktikan bahwa reog adalah asli budaya Ponorogo, dengan membuat sendiri semua perlengkapan reog-nya. Baik kuda lumping, topeng-topeng, maupun kepala reog. Sanggar Singo Mangku Joyo memiliki tiga kepala reog. “Tiga saja cukup. Sekarang cari kulit harimau susah, sudah jadi binatang yang dilindungi,” tuturnya. Menurut Sugianto, tidak ada persiapan khusus untuk membuat perlengkapan reog. Hanya saja, kalau mau pentas ia selalu membuat jenang sekolo (bubur merah) supaya semua selamat.

Sugianto berharap sanggar yang sekarang dikelolanya bisa terus hidup. Dua orang anaknya juga menjadi pemain reog, dan tentu saja diharapkan menjadi generasi penerus budaya seni reog. “Budaya ini harus turun temurun supaya kesenian daerah nggak putus, sekarang saja kesenian daerah banyak ditinggalkan,” kata Sugianto. Ia bangga pada keponakannya yang masih usia Taman Kanak-kanak tetapi sudah lihai menari reog.

“Untungnya sekarang kita masih dipercaya pemerintah kalau ada event atau tamu penting. Tapi ini tetap harus dilestarikan sendiri, pemerintah mosok tau ngopeni ngene-ngene. Isok’e njaluk tulung thok,” keluh Sugiarto. Maksudnya, pemerintah tidak pernah mengurusi masalah pelestarian budaya, bisanya hanya meminta tolong saat ada acara. Karena itulah Sugianto tetap ingin menurun-temurunkan seni di Kampung Reog.

Comments

  1. mari main ke blog baru saya riffrizz.com
    "maaf komentar tidak nyambung"

    ReplyDelete
  2. klau mw jdi anggota di sanggar trsebut boleh gak???? syartanya apa sja?

    ReplyDelete

Post a Comment

Besar harapan kami dapat memberikan jembatan untuk dapat saling silaturahmi sesama warga Ponorogo dimanapun berada.
Tinggalkan komentar anda sebagai wujud partisipasi dukungan untuk kami. Terima kasih.

Popular posts from this blog

Reog Dulu dan Sekarang : di Balik Tirai Warok-Gemblak

Menikmati suasana pasar malam Ponorogo