Reyog Ponorogo yang Langgeng Melegenda
Seni yang Lahir dari Pencarian Tambatan Hati.
Kesenian reyog adalah salah satu kesenian asli milik Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur yang sudah mendunia sejak puluhan tahun lalu. Selain dadak merak (bulu merak) yang digabungkan dengan singo barong (kepala macan), kesenian ini juga dilengkapi dengan penampilan warok yang terlihat khas dengan baju dan celana besar hitam, sabuk kulit, kolor tali warna putih, terbalut rapi, udeng hitam di kepala dan postur tubuh yang kekar. Diselipi muka garang, kumis lebat dengan gagahnya mereka berjalan.
Tak hanya itu, unsur lain seperti jathilan atau gadis cantik dengan kuda kepangnya, termasuk aksi penari remaja bujang ganong, adalah pasukan sang legenda, Raja Kelono Sewandono yang mencari gadis pujaannya, Dewi Sri Songgolangit.
Beberapa adegan yang ditampilkan dalam alur pementasan reyog sebenarnya tidak mengikuti skenario khusus. Tetapi, berdasarkan cerita beberapa budayawan Ponorogo, kekuatan alur pertunjukan tersebut berada pada interaksi sang penari dengan penontonnya.
Kendati demikian, hal itu tanpa mengurangi nilai filosofi yang sebenarnya ditularkan melalui wujud kepala harimau bermahkotakan burung merak ini.
Berangkat dari legenda sang Raja Bantarangin, Kelono Sewandono, penggambaran laku seni reyog ini dimulai. Menurut salah satu tokoh sesepuh warok Ponorogo, Mbah Bikan, filosofi yang terkandung dalam tarian reyog ini berangkat dari kisah pencarian tambatan hati Raja Kelono Sewandono.
Saat itu, raja yang terkenal dengan senjata pecut Samandiman dan topeng barong tersebut menjatuhkan pilihan pada seorang putri dari Kediri bernama Dewi Sri Songgolangit.
"Tapi, tidak semudah itu sang raja meluluhkan hati sang Dewi. Sebab, ada syarat yang diajukan oleh Dewi Sri Songgolangit," kata Mbah Bikan, yang saat ini menetap di Desa Plunturan, Kecamatan Pulung, Ponorogo.
Syarat tersebut yakni harus adanya mahar berupa sebuah kesenian yang belum pernah ada di muka bumi. Maka terciptalah seni reyog dengan empat peran yang merupakan gambaran Kerajaan Bantarangin. Yakni Raja Klono Sewandono, Patih Bujang Ganong, sekelompok prajurit kekar yang disebut warok, pasukan berkuda jathil serta singa barong penguasa hutan setempat bernama hutan Lodaya.
Sebenarnya, apabila ditelisik, ada tiga versi yang beredar kuat pada kalangan sesepuh Reyog Ponorogo. Yakni versi Bantarangin, versi Ki Ageng Kutu Suryangalam, serta versi Batoro Katong. Untuk itu, tahun 1992 silam, pemerintah setempat sempat membentuk tim kerja yang bertugas meneliti sejarah alur kesenian reyog tersebut.
[caption id="attachment_407" align="alignright" width="300" caption="pengrajin reyog"][/caption]
Akhirnya, versi Bantarangin yang merujuk pada zaman kerajaan Kediri (abad XI) dianggap sebagai versi tertua. Kemudian versi Ki Ageng Kutu Suryangalam yang merujuk pada masa pemerintahan Bhre Kertabumi di Majapahit (abad XV). Serta diakhiri dengan kekalahan Ki Ageng Kutu Suryangalam yang beragama Budha oleh Batara Katong yang beragama Islam di abad yang sama. Hingga merujuk pada perkembangan penyebaran agama Islam di Ponorogo.
Bahkan, hingga saat ini, alur cerita kesenian reyog telah mengalami beberapa inovasi. Seperti halnya warok yang dulu kala harus nggemblak (tidak boleh berhubungan dengan wanita) saat ini sudah tidak ada. Pasukan jathil yang dulu ditunggangi laki-laki, saat ini berganti perempuan.
Namun demikian, perubahan ini tetap tidak meninggalkan filosofi sebagaimana terkandung. Termasuk beberapa irama nada slendro dan pelog yang berasal dari kempul, ketuk, kenong, gendang, ketipung, angklung, gong dan salompret. Saat ini, eksistensi reyog yang telah menggema hingga seluruh dunia tampaknya menjadikan pemerintah setempat bekerja ekstrakeras untuk mempertahankan dan melindunginya.
Dengan tujuan mempertahankan potensi budaya warisan leluhur tersebut. Termasuk belajar dari pengalaman sebelumnya, yang sempat diklaim negara Malaysia sebagai tari barongan warisan Melayu dari Batu Pahat Johor dan Selangor Malaysia.
Ketika era tahun 1987, kesenian reyog mengalami polemik yang sangat luar biasa. Saat itu sejumlah remaja kian meninggalkan kesenian asli Ponorogo. Pada saat itulah muncul konsep yang digagas Bupati Ponorogo saat itu, Barkah. Ketika bulan Suro (bulan Jawa), dia melihat banyak masyarakat Ponorogo yang berkumpul di Alun-alun hingga muncullah ide untuk membuat pertunjukan festival reyog.
"Saat pertama kali diadakan festival reyog, pesertanya hanya tiga saja, itu pun dari Ponorogo semua. Dan lokasinya tidak di Alun-alun, baru di tahun kedua digelar di Alun-alun. Alat penerangannya dulu hanya menggunakan dimar (penerangan terbuat dari api) saja," jelas Budi Satriyo, pengamat seni sekaligus Sekretaris Yayasan Reyog.
Festival itu hingga saat ini terus berlangsung setiap menjelang bulan Suro hingga memasuki bulan Suro. Lomba ini pun sekarang diikuti berbagai kabupaten di Indonesia, termasuk Kalimantan, Sumatera hingga Papua.
Selain itu, setiap memasuki hari jadi Kabupetan Ponorogo, pemerintah daerah juga menggelar Festifal Reyog Mini (FRM) yang wajib diikuti sekolah di Ponorogo tingkat SMP dan SMA. Setiap datang bulan purnama, Pemkab Ponorogo juga selalu menggelar pertunjukan reyog di panggung utama Alun-alun Ponorogo.
Tak hanya penonton lokal, banyak penonton di antaranya juga berasal dari daerah sekitar, seperti Pacitan, Trenggalek, Magetan, Madiun, hingga Wonogiri Jawa Tengah. [air/tur]
Biar Sakti, Warok Harus Betah Prei ML
[caption id="attachment_408" align="alignright" width="220" caption="warok pozone"][/caption]
Warok yang berasal dari kata wewarah, yang berarti wong kang sugih wewarah. Atau seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik dan memiliki kesaktian spiritual.
Dalam pementasan kesenian reyog Ponorogo, selalu dijumpai sosok seorang warok dengan cirri-ciri baju dan celana besar warna hitam, sabuk kulit hitam dan besar, kolor tali warna putih terbalut rapi, udeng hitam di kepala dan postur tubuh yang kekar. Diselipi muka garang, kumis yang lebat dengan gagahnya.
Karena dipercaya memiliki kemampuan lebih (sakti), hingga saat ini warga Ponorogo menganggap keberadaan warok sebagai sesepuh di masyarakat. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasihat atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketenteraman hidup. Seorang warok konon harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati atau jalan kemanusiaan yang sejati.
Namun di balik itu semua, beberapa masyarakat memiliki asumsi bahwa warok memiliki cerita buruk tentang kehidupan dan mencari ilmu. Banyak orang yang menganggap seorang warok memiliki kelainan seksual (suka sesama jenis).
Ketika beritajatim.com mencoba menelisik sumber terpercaya yang mengetahui kebenaran cerita ini, terungkap cerita sebenarnya tentang warok Ponorogo. Saat itu, memang seorang warok harus harus menjalankan laku. Yakni, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan.
Selain itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu-ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, yang merupakan senjata andalan para warok.
Warok sejati pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani. Bahkan, kadang para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.
Sementara ada versi lain yang menyebutkan jika menjadi warok sejati, maka seseorang calon warok harus melakukan tirakat gemblakan. Dia harus lepas dari wanita dalam kehidupan dan diwajibkan memiliki gemblak (lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun berparas tampan dan terawat yang dipelihara).
Gemblak sendiri akan dijadikan selir dalam melakukan tirakat, yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reyog.
Bagi seorang warok hal tersebut adalah fenomena wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu kadang terjadi pinjam-meminjam gemblak.
Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah, maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat tinggal. Sedang jika gemblak tidak bersekolah, maka setiap tahun warok memberikan seekor sapi.
[caption id="attachment_409" align="alignleft" width="275" caption="Warok Ponorogo"][/caption]
Dalam tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh kesaktian.
Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Selain itu, ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biar pun dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok.
Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.
Seiring kemajuan zaman, tradisi gemblakan pun semakin luntur. Bahkan saat ini sudah sangat sulit ditemui atau mungkin sudah tiada. Menurut Budi Satriyo, pengamat seni sekaligus Sekretaris Yayasan Reyog, cerita tentang adanya gemblak memang ada, namun sebenarnya itu hanya kepercayaan sebagian orang saja yang kini sudah tiada.
Menurutnya, meski seseorang menggunakan tirakat nggemblak, warok tersebut bukan berarti memiliki kelainan seksual. Dia melakukan itu hanya ketika melakukan tirakat saja. Seorang warok juga memiliki istri dan anak.
"Memang ada yang menggunakan ilmu gemblak untuk menjadi warok, tapi jika tirakat usai ya sudah dia berkumpul dengan anak dan istrinya layaknya suami istri. Dan warok yang sebenarnya tidak memiliki tubuh kekar seperti dalam pementasan reyog," jelasnya.
"Justru warok yang asli tubuhnya kecil karena terlalu lama melakukan tirakat dan semedhi (bertapa) untuk mencari wangsit dan ilmu yang lebih tinggi," imbuh pria berkulit sawo matang ini.
Sementara itu, dalam cerita reyog, gemblak digambarkan dalam penari jathil (penunggang kuda). Di mana seorang jathil laki-laki berjoget layaknya wanita yang menggoda dan memikit hati seorang warok.
Namun sayang, mulai era akhir tahun 80-an, jathil mulai ditinggalkan kaum remaja pria. Mereka takut jika menjadi jathil akan kebablasan menjadi laki-laki yang bersifat wanita. Akhirnya oleh sesepuh warok Ponorogo, almarhum Kasni Guno Pati (Mbah Wo Kucing), seorang jathil diganti peran seorang wanita untuk mempertahankan kesenian itu.
"Sebenarnya dalam cerita reyog yang asli, tidak ada satu pun pemain wanita. Namun karena sudah tidak ada laki-laki yang berminat menjadi jathil, akhirnya diganti oleh remaja putri," katanya.
Meski tak merubah keaslian cerita reyog yang menggambarkan legenda sang Raja Bantarangin, Kelono Sewandono yang ingin mempersunting Dewi Sri Songgolangit. Namun alur yang ditampilkan saat ini sudah sedikit mengalami perubahan, termasuk lagu pengiringnya.
"Kalau ceritanya sama, hanya tampilnya yang asli secara bergantian dan beruntun tidak seperti sekarang yang langsung muncul bersama. Dulu lagu pengiringnya hanya karawitan pok ami-ami belalang kupu-kupu. Tapi sekarang sudah dicampur lagu yang lain dan memberikan alunan yang berbeda. Meski lagu itu terkadang masih terselip," tutur pria dengan kumis lebat dan selalu menggunakan udeng di kepala itu. [air/tur/Reporter : Raden Catur Cahyo/beritajatim.com]
reyog harus tetap milik Indonesia...
ReplyDelete[...] Songgolangit FMRadio Songgolangit FM- Kebanggaan Ponorogo Komentar terbarugiriayoga on Reyog Ponorogo yang Langgeng MelegendaSILFESTER TEBAI on Suara Reyog Surya Mitra Perkumpulan Radio Komunitas MITRA FMParbo Hadi on [...]
ReplyDeletejangan sampai reyog di akui oleh negara orang lain,
ReplyDelete