Posts

Showing posts from March, 2011

Pakaian Warok Ponorogo dalam Tinjauan Semiotika

Oleh :  Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si Hari itu Minggu, 13 Maret 2011. Saya memperoleh undangan untuk menghadiri pertemuan keluarga besar Ponorogo yang ada di Malang, yang disebut Pawargo, artinya Paguyupan Warga Ponorogo. Paguyupan itu diprakarsai oleh beberapa senior warga Ponorogo yang ada di Malang beberapa tahun yang lalu dengan tujuan untuk menyambung silaturrahim dengan semua warga dan keluarga Ponorogo di Malang yang semakin hari jumlahnya semakin banyak. Saya memperoleh undangan karena ‘katut’ istri yang memang berasal dari Ponorogo. Jadi, kalau dalam organisasi formal, saya ini sebagai anggota kehormatan saja. Pertemuan diselenggarakan setiap 3 atau 4 bulan sekali dan tuan rumahnya ditunjuk secara bergiliran, atau siapa saja yang memintanya karena bertepatan punya hajat, seperti tasyarakuran atau selamatan kirim doa kepada para leluhur dan sebagainya. Pertemuan selalu diadakan pada hari Minggu agar sebanyak mungkin anggota bisa hadir. Setiap pertemuan biasanya diha

sate Tukri Sobikun

Dalam dunia persatean, sate ayam Ponorogo masuk gagrak bumbu kacang seperti sate Madura. Penggemar sate gagrak ini akan memberi nilai plus bila bumbunya pas. Soal daging sih tidak terlalu berbeda kecuali tingkat kematangan dan aroma berbeda. Ada dua jenis bumbu sate yang dikenal umum yaitu yang memakai kacang tanah diulek dan bumbu kecap plus irisan cabai dan bawang merah. Sebenarnya ada lagi bumbu yang menggunakan santan agar lebih gurih. Kini sate Madura yang ada di Jawa mulai menyesuaikan diri dengan lidah pembelinya. Bumbu kacang ditambah irisan bawang merah dan cabai. Apapun topingnya, kunci utama tetap pada daging yang dibakar. Di Ponorogo, ada dua kampung sate yang tersohor. Kampung pertama, dikenal dengan Gang Sate, tempat si legendaris Sate Ayam Tukri Sobikun . Tepatnya di Jl Lawu Gang I No 43, Kelurahan Nologaten, Kecamatan/Kabupaten Ponorogo. Kampung sate kedua yang juga diberi nama Gang Sate di Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo.

PONOROGO SEBAGAI REPRESENTASI BUDAYA

“SITIKULTUR(a)” Oleh : Andry Deblenk Apabila berbicara tentang Ponorogo, kita tidak dapat melepaskan diri dari nilai-nilai budaya. Seperti kita ketahui bersama, ada dua hal yang dapat kita tengarai. Pertama , adalah substansi dari kesenian reyog itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, bahwasanya kesenian adiluhung ini made in asli dari daerah Ponorogo. yang sejak dulu menjadi ikon bagi masyarakat Ponorogo. Kedudukan reyog sangat vital, nyaris tak tergantikan. Kedua , jika kita flash back pada sejarah berdirinya wilayah ini, pastilah kita mengenal nama Raden Bathoro Katong. Di dalam buku Babad Ponorogo yang ditulis oleh Poerwowidjojo diceritakan bahwa asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dan musyawarah antara Raden Katong, Ki Ageng Mirah, dan Joyodipo pada hari jum’at malam bulan purnama. Bertempat di tanah lapang dekat gumuk ( wilayah Katongan sekarang ). Di dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan nanti dinamakan “Pramana raga” yang akhirny