Pakaian Warok Ponorogo dalam Tinjauan Semiotika

Oleh :  Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

Hari itu Minggu, 13 Maret 2011. Saya memperoleh undangan untuk menghadiri pertemuan keluarga besar Ponorogo yang ada di Malang, yang disebut Pawargo, artinya Paguyupan Warga Ponorogo. Paguyupan itu diprakarsai oleh beberapa senior warga Ponorogo yang ada di Malang beberapa tahun yang lalu dengan tujuan untuk menyambung silaturrahim dengan semua warga dan keluarga Ponorogo di Malang yang semakin hari jumlahnya semakin banyak. Saya memperoleh undangan karena ‘katut’ istri yang memang berasal dari Ponorogo. Jadi, kalau dalam organisasi formal, saya ini sebagai anggota kehormatan saja.

Pertemuan diselenggarakan setiap 3 atau 4 bulan sekali dan tuan rumahnya ditunjuk secara bergiliran, atau siapa saja yang memintanya karena bertepatan punya hajat, seperti tasyarakuran atau selamatan kirim doa kepada para leluhur dan sebagainya. Pertemuan selalu diadakan pada hari Minggu agar sebanyak mungkin anggota bisa hadir. Setiap pertemuan biasanya dihadiri. Jadi lumayan banyak. Karena kesibukan, saya tidak bisa hadir secara rutin. Tetapi seingat saya, kami sudah hadir sebanyak 4 kali. Yang menarik adalah hidangannya makanan ala Ponorogo, mulai sate, pecel, dawet, cemoe, rujak, hingga kue-kue khas Ponorogo.


Sebagai orang asli Ponorogo, istri saya sangat menikmati pertemuan itu, karena itu jika berhalangan hadir dia sangat kecewa. Sebab, lewat pertemuan itu, dia bisa bernostalgia dengan teman-teman lamanya waktu sekolah sejak SD hingga SMA. Pertemuan itu betul-betul menjadi ajang pembicaraan ‘masa lalu’, bukan masa depan. Misalnya, waktu di SD dulu sering beli ‘dawet’ di pinggir tembok sekolah, pernah mbolos sehingga dihukum gurunya, ke sekolah dengan jalan kaki lewat sawah, tetapi sawah itu telah menjadi kawasan elit, ada yang dulu bercita-cita menjadi tentara, tetapi ternyata menjadi paranormal, pejabat pemerintah, camat, lurah, guru, dosen, mubaligh, perangkat desa, pengusaha dll. Pokoknya ceritanya menarik, sehingga sambutan-sambutan dari pengurus tidak digubris. Saya sendiri hanya pendengar karena saya tidak bisa bernostalgia dengan mereka yang memang bukan kawan saya sekolah, kecuali beberapa orang yang kebetulan kenal akhir-akhir ini.

Selain makanan khas Ponorogo sebagai ciri uniknya, semua peserta laki-laki yang hadir wajib mengenakan pakaian warok, pakaian khas Ponorogo, baju oblong dan celana kombor warna hitam tanpa sabuk, tetapi kolor. Ada yang menyempurnakannya dengan mengenakan udeng (ikat kepala warna hitam). Siapapun yang mengenakannya terkesan gagah dan seolah siap bertarung layaknya seorang pendekar silat, walau tidak punya uang (ha ha). Kendati hanya sebagai warga kehormatan, saya juga mengenakan pakaian warok itu untuk menyesuaikan dengan yang lain. Awalnya saya kikuk mengenakannya, tetapi setelah beberapa kali menjadi terbiasa dan terasa nyaman karena longgar.

Apa sebenarnya makna di balik pakaian warok tersebut? Sebagai peminat studi bahasa dan budaya, saya mencoba mencari maknannya dengan menelusuri teori yang terkait dengan tanda. Siapapun yang pernah mengkaji ilmu bahasa tentu tidak asing dengan nama Ferdenand de Saussure, tokoh linguistik struktural dari Perancis yang menjadi peletak dasar ilmu linguistik modern. Menurut de Saussure, bahasa merupakan alat komunikasi dalam masyarakat yang menggunakan sistem tanda yang maknanya dipahami secara konvensional oleh anggota masyarakat bahasa yang bersangkutan. Tanda bahasa terdiri dari dua unsur yang tidak bisa dipisahkan, yaitu penanda (signifier) atau bentuk dan petanda (signified) atau makna. Hubungan keduanya tidak bisa dipisahkan dan masuk dalam kognisi pengguna bahasa. Studi yang secara khusus mengkaji tanda disebut semiotika.

Berdasarkan perspektif semiotika, busana warok yang dikenakan para anggota Pawargo tentu tidak secara kebetulan. Penandanya adalah baju oblong dan celana warna hitam dersebut. Menurut salah seorang tokoh Pawargo, warna serba hitam melambangkan sikap diam, dan warna merah di bagian dalam baju melambangkan sikap berani. Perpaduan warna hitam dan merah bermakna bahwa warga Ponorogo memiliki sikap diam, tetapi jika diganggu tidak sedikitpun ada perasaan takut untuk melawannya. Makna ini telah berkembang luas di antara Pawargo dan masyarakat Ponorogo pada umumnya hingga menjadi ‘mitos’. Jika mitos tersebut terus berkembang maka akan lahir menjadi ideologi. Begitu hubungan antara tanda dan penanda. Karena itu, setiap tanda tentu diikuti dengan petanda atau yang ditandai.

Busana bukan sekadar berfungsi sebagai penutup dan pelindung anggota tubuh, melainkan juga berfungsi secara sosial. Sebagai fungsi sosial, busana menggambarkan tata cara berinteraksi dengan lingkungan sosial. Selain itu, busana juga menyangkut aspek kepantasan dan kesopanan. Karena itu, setiap masyarakat memiliki ragam busana sendiri-sendiri.

Memahami bentuk dan warna busana Pawargo, saya teringat pendapat Umberto Eco, sebagaimana juga ditegaskan Benny. H. Hoed (2011: 146) bahwa dalam sebuah masyarakat apa saja selalu ada prinisp-prinsip supra-individual, yaitu nilai dan norma yang mengatur perilaku manusia dalam masyarakat, termasuk perilaku berbusana. Meskipun manusia memiliki kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya di ruang publik, pada akhirnya ia harus tunduk pada prinsip-prinsip supra-individual yang telah disepakati.

Dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia prinsip-prinsip supra-individual tidak tunggal. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat dituntut untuk bisa menghargai tata nilai yang berlaku pada masyarakat yang lain. Kita harus menghargai bentuk busana masyarakat Madura, Batak, Bali, Sunda, Minang, Bugis, Papua, termasuk bentuk dan warna busana Pawargo tadi. Masyarakat selalu ingin hidup damai dan tenteram. Kedamaian dan ketenteraman itu diperoleh dengan cara hidup saling menghargai dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip supra-individual yang telah disepakati.

Jika prinsip-prinsip supra-individual dilanggar hampir pasti terjadi konflik sosial. Kita bisa menyaksikan berbagai peristiwa sosial di masyarakat mana saja akar-akarnya adalah pelanggaran terhadap kaidah dan prinsip dasar kehidupan sosial. Karena itu, sejauh mana konflik dapat dihindari sangat tergantung pada sejauh mana prinsip-prinsip supra-individual juga disepakati. Saya pun termasuk orang yang belajar menghargai prinsip-prinsip supra-individual ketika saya belajar mengenakan pakain ala warok Ponorogo, kendati saya tidak berasal dari Ponorogo. Saya berprinsip, dengan saling menghargai hidup menjadi lebih indah !

__________

Minggu, 13 Maret 2011

Comments

Popular posts from this blog

Reog Dulu dan Sekarang : di Balik Tirai Warok-Gemblak

Menikmati suasana pasar malam Ponorogo