Pasar Bebas Pukul Perajin Kulit

 Radar Madiun 
Senin, 01 Februari 2010 ]
PONOROGO - Kebijakan pemerintah terkait dengan adanya pasar bebas sangat dirasakan oleh pengusaha lokal. Diantaranya Miskan, 55, salah seorang perajin kulit dari Desa Nambangan, Kecamatan Sukorejo, yang mengeluh pailit. ''Sebelum ada pasar bebas saja kami sudah kesulitan pasar, apalagi kalau sudah diserbu barang luar produk kita pasti kalah. Karena buatan pabrik harga mereka lebih miring,'' terang Miskan, kemarin (31/1).

Dengan dibukanya pasar bebas, berarti barang luar negeri seperti produk China akan beredar bebas di pasaran. Tentunya dengan harga yang lebih murah. Kondisi  itu akan memperburuk situasi pasar barang lokal khususnya bagi para pengrajin rumahan (home industry). Karena mereka hanya memproduksi barang dengan modal yang sangat terbatas. ''Kalau dari segi kuantitas kami jelas kalah dibanding produksi pabrik. Tapi jika bicara kualitas kami masih berani bersaing,'' kata pria yang saat ini berkonsentrasi di kerajinan tas itu.

Bahkan sebelum pasar bebas ini diberlakukan, Miskan mengaku jika usaha kerajinannya itu sudah mulai redup. Hal itu disebabkan oleh minimnya modal serta minat para pelanggan barang hasil kerajinannya, yakni berupa sepatu serta ikat pinggang berbahan kulit. ''Jadi beberapa tahun terakhir saya beralih jenis produksi, dan jarang lagi membuat sepatu itu,'' terang bapak empat orang anak itu.

Jika sebelumnya Miskan mampu memproduksi sekitar dua ratus hingga tiga ratus pasang sepatu, kini dirinya hanya memproduksi beberapa puluh pasang saja. Dan hanya memproduksi jika ada pesanan dari pelanggan.

Sehingga untuk tetap agar bisa eksis di dunianya itu, Miskan beralih menjadi pengrajin tas dan topi kulit. Uniknya bukan tas yang  kebanyakan digunkan oleh kaum hawa, namun dirinya membuat tas asesoris sepeda ontel. ''Selain harus bisa menjaga kualitas produk, kita juga dituntut harus bias jeli dengan kondisi pasar,'' terang Miskan yang memperoleh keahliannya itu saat belajar secara otodidak di Jogjakarta tahun 1970an silam.

Miskan mengatakan dirinya mulai melirik model  lain itu, karena sejak empat tahun terakhir muncul trend komunitas  penghobi sepeda ontel. Bukan hanya sekedar bersepeda, para penghobi tersebut biasanya sering menghias sepeda mereka dengan tas serta dompet sebagai asesorisnya. Sehingga ada beberapa penghobi yang memesan tas untuk sepedanya kepada Miskan. ''Sejak itu saya terus berkonsentrasi untuk produksi tas tersebut. Dan agar tetap laku, saya turut serta berpartisipasi di setiap even mereka,'' imbuhnya.

Sehingga dengan kejeliannya membaca pasar itu, Miskan bersama istrinya masih mampu bertahan hingga saat ini. Namun eksistensinya kini kembali terancam dengan maraknya produk-produk China yang mulai merambah pasar di Jawa Timur. ''Karena pasar kami tidak hanya disini saja. Kami juga sudah menembus berbagai kota pusat kerajinan,'' akunya.

Diantaranya seperti Bandung,Bekasi, Jogjakarta, Jember hingga luar Jawa yakni Kalimantan dan Sumatera. (rgl/eba)

Comments

  1. waduh cina tu bener2 siap dengan yang namanya pasar bebas..
    lokal g bisa berkutik...

    ReplyDelete
  2. manteb gan...kadang kita memang selalu dihadapkan pada masalah yg sulit...

    ReplyDelete
  3. pake taktik perang gerilya untuk menghadapi serbuan produk massal luarnegeri

    ReplyDelete

Post a Comment

Besar harapan kami dapat memberikan jembatan untuk dapat saling silaturahmi sesama warga Ponorogo dimanapun berada.
Tinggalkan komentar anda sebagai wujud partisipasi dukungan untuk kami. Terima kasih.

Popular posts from this blog

Reog Dulu dan Sekarang : di Balik Tirai Warok-Gemblak

Menikmati suasana pasar malam Ponorogo