Melacak Masa Silam Kesenian Gajah-gajahan
Oleh : Murdianto
Gajah gajahan adalah jenis kesenian yang mirip dengan hadroh atau samproh klasik, terutama alat alat musik yang dipakai. Instrument musiknya adalah Jedor, kendang, kentongan, dan kenong. Pada saat pertunjukkan gajah gajahan dimulai, patung gajah tersebut dinaiki oleh seorang bocah kecil, yang umumnya perempuan atau laki laki yang didandani seperti perempuan, sambil diiringi oleh pemusik dibelakangnya. Gajah gajahan bukan sekedar kesenian panggung, tetapi juga sebagai sarana sosialisasi suatu kabar tertentu (misal; pengajian) dari si penghajat kepada masyarakat luas. Saat memerankan fungsi sosialisasi ini, gajah gajahan diarak keliling desa atau beberapa desa disekitarnya. Cara mengarak gajah gajahan dengan berkeliling desa itu, diharapkan akan mengundang perhatian warga untuk mendengarkan pesan pesan yang akan disampaikannya.
Gajah gajahan adalah jenis kesenian yang mirip dengan hadroh atau samproh klasik, terutama alat alat musik yang dipakai. Instrument musiknya adalah Jedor, kendang, kentongan, dan kenong. Pada saat pertunjukkan gajah gajahan dimulai, patung gajah tersebut dinaiki oleh seorang bocah kecil, yang umumnya perempuan atau laki laki yang didandani seperti perempuan, sambil diiringi oleh pemusik dibelakangnya. Gajah gajahan bukan sekedar kesenian panggung, tetapi juga sebagai sarana sosialisasi suatu kabar tertentu (misal; pengajian) dari si penghajat kepada masyarakat luas. Saat memerankan fungsi sosialisasi ini, gajah gajahan diarak keliling desa atau beberapa desa disekitarnya. Cara mengarak gajah gajahan dengan berkeliling desa itu, diharapkan akan mengundang perhatian warga untuk mendengarkan pesan pesan yang akan disampaikannya.
Pada hajatan khitanan biasanya, yang naik gajah-gajahan adalah anak kecil yang di sunat. Kini dalam perkembangannya, fungsi ini di geser seperti fungsi jathil pada kesenian reyog. “biar lebih memiliki unsur artistiknya” kata Pamujo. Selain karena Gajah-gajahan tidak memiliki pakem yang tetap pada awalnya, mulai instrument musik, gerak tari, style musiknya bisa saja berubah sesuai perkembangan zaman. “sekarang gajah-gajahan maunya dicampusarikan” Karena figurnya gajah menurut Pamujo, maka akan lebih pas kalau hanya pakai jedor saja. Yang membedakannya dengan Hadrah adalah hadirnya patung gajah yang terbuat dari kertas karton yang dilekatkan oleh kerangka dari bambu.
Dalam ingatan Pamujo, Sesepuh Gajah-gajahan dari Kertosari, dikenal pada sekitar tahun 60-an, di seputaran pesantren Kepuhrubuh Siman. Memang pada awalnya kesenian ini memang tersebar dilingkungan komunitas santri atau daerah seputaran mushola/masjid terutama di daerah-daerah Siman, Mlarak, Jetis. Beberapa pimpinan komunitas gajah-gajahan belum bisa memberi keterangan tentang asal mula kesenian gajah-gajahan ini. Karena dalam komunitas Gajah-gajahan sendiri terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Bonaji, ketua kesenian gajah-gajahan Kradenan Jetis, menjelaskan bahwa seingatnya komunitas gajah-gajahan tertua, pertama kali dikembangkan oleh masyarakat di Wilangan Sambit. Tetapi memang mereka tidak pernah meneyebut tokoh historis tertentu yang menjadi rujukan, berbeda dengan reyog tentunya yang selalu merujuk pada Batoro Katong atau Ki Ageng Kutu.
Hal ini bisa dimengerti, karena kesenian ini memang berkembang atas dasar komunitas dan tidak memiliki tokoh sentral tertentu, selain karena belum ditemukan ada satu pun dokumentasi yang dimiliki tokoh maupun kelompok gajah-gajahan sekarang ini. Namun hampir dapat dipastikan pada awalnya kesenian ini memang dikembangkan oleh komunitas santri. Hal ini terjadi karena setelah marak di awal tahun 1960-an pada sekitar tahun 1980-an mulai surut dan kembali marak di desa-desa pada pertengahan tahun 1990-an. Gajah-gajahan memang diciptakan bukan sebagai kesenian ritual, namun adalah kesenian ‘kelangenan’ selain juga memiliki fungsi merekatkan persaudaraan antar kalangan masyarakat santri.
Kesenian Gajah Gajahan yang di kembangkan kalangan santri saat itu di Ponorogo memang awal mulanya dilatarbelakangi sebuah perebutan kuasa politik, lewat instrumen kebudayaaan (baca; kesenian). Reyog yang saat itu yang telah mendarah daging bagi masyarakat Ponorogo memang menjadi sarana komunikasi yang efektif bagi rakyat. Maka tak mengherankan jika berbagai kekuatan politik pada tahun 1950 –60 an melirik reyog sebagai instrumen untuk merebut massa. Berbagai organisasi kebudayaan dari partai partai politikpun segera dikerahkan untuk berpacu memenangkan kuasa. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra-nya PKI), Lembaga Kesenian Nasional (LKN-nya PNI), Lembaga Seni – Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi-nya NU), dan Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI-nya Masyumi) adalah lembaga lembaga kebudayaan dari partai politik waktu itu yang berlomba merebut dominasi, khususnya dalam memenangkan kuasa dalam reyog.
Seiring dengan hal itu, suasana kehidupan di Ponorogo diwarnai dengan berbagai ketidaktertiban sosial dan munculnya gangguan keamanan. Belum lagi ditambah berbagai intrik politik yang sangat dominan sebagai determinasi pertarungan politik nasional. Akhirnya pada tahun 1958 Bupati Dasuki, memerintahkan Embah Wo bersama dengan Embah Lurah Welud, dan Embah Rukiman untuk membantu pemerintah menertibkan keadaaan di wilayah ini.
Akhirnya, Embah Wo, Embah Welud, dan Embah Rukiman mengumpulkan segenap orang orang yang menonjol dalam olah kanuragan (istilah Embah Wo : Bolo Ireng) untuk mendapatkan pengarahan dari bupati untuk mendapatkan wewenang guna mengatasi gangguan keamanan di Ponorogo. Setidaknya terdapat 126 bolo ireng yang mendapatkan kepercayaan dari bupati untuk menjadi “polisi daerah”. Sebagai potensi sosial yang strategis, maka bolo ireng pun menjadi incaran dari berbagai kekuatan politik lokal, terutama PKI untuk dijadikan sayap politiknya. Namun, Embah Wo yang saat itu sebagai tetuone bolo ireng menolak kalau barisannya diajak masuk partai politik. Walau pada masa akhirnya toh Embah Wo dan bolo ireng menjadi sayap politik Golkar.
Dilain pihak, persaingan memperebutkan reyogpun segera dimulai, ketika para warok mendirikan Barisan Reyog Ponorogo (BRP) pada tahun 1957. BRP awal mulanya didirikan sebagai sarana perkumpulan reyog dan tak ada sangkut pautnya dengan dinamika politik setempat. Perebutan pucuk pimpinan BRP pun berlangsung ketat tatkala banyak aktivis Lekra, Lesbumi, LKN, dan HSBI memasuki keanggotaan BRP. Tokoh tokoh semacam Paimin (tokoh Lekra dan juga mantan purnawirawan TNI AD yang juga menjadi Lurah Purbosuman) bersaing dengan Marto Jleng (LKN) dan KH Mujab Thohir dari Lesbumi dalam menduduki kursi ketua BRP. Akhirnya kontestasi itu dimenangkan oleh Paimin dari Lekra. Komposisi kepengurusan BRP yang seharusnya disangga bersama dari Lekra, LKN, dan Lesbumi ternyata didominasi oleh kalangan Lekra, sebab Paimin secara otoritatif memasukkan orang orangnya dalam kepengurusan Lekra.
Perpecahan pun membayangi tokoh tokoh kebudayaan yang secara ideologis berbeda haluan politik itu. Dominasi Lekra dalam BRP membuat Marto Jleng dan KH Mujab Thohir tidak lagi mengakui keberadaan BRP sebagai wadah reyog bersama. Puncak dari ketegangan dari “triumvirat” itu adalah saat Marto Jleng dan Mujab Thohir mendirikan bendera reyog tersendiri sebagai usaha untuk mendelegitimasi BRP sebagai perkumpulan reyog bersama. Marto Jleng akhirnya mendirikan Barisan Reyog Nasional (BREN) dan KH Mujab Thohir mendidikan Kesenian Reyog Islam (KRIS) lantas mendirikan lagi Cabang Kesenian Reyog Agama (CAKRA).
Seperti yang dituturkan oleh Embah Wo, keberadaan BREN, KRIS, maupun CAKRA masih belum bisa menyaingi dominasi BRP dalam memperebutkan massa. Walau banyak anggota anggota BPR yang tidak mengerti tentang komunisme, namun mereka sangat kuat dipengaruhi oleh elit elit BRP. Kemampuan BRP menggalang massa bahkan hingga setiap desa diseluruh Ponorogo. Jadi dapat dipastikan bahwa setiap desa memiliki grup reyog yang berafiliasi dengan BRP. Akibat dominasi inilah sebagian kalangan non komunis, terutama kalangan santri menuduh bahwa reyog itu haram karena reyog itu identik dengan komunis, terutama selepas peristiwa G 30 S tahun 1965. Karena tidak mampu mengungguli kekuatan BRP itu, akhirnya kalangan santri dari Jetis membuat kesenian alternatif, yakni Gajah gajahan, terutama selepas peristiwa G 30 S tahun 1965.
Jetis, Mlarak dan Siman pada masa tahun 50 an sampai 60 an merupakan basis dari Masyumi dan sebagian lagi NU. Didaerah ini pula Pondok Pesantren Gontor yang memiliki pengaruh kuat disekitar wilayahnya menyebarkan syi’ar Islam. Praktis, kemunculan Gajah gajahan yang merupakan kesenian beridentitas Islamis benar benar mendapatkan tempat didaerah ini. Dalam ingatan Pamujo, Ketua paguyuban Gajah Gajahan Anggoro Sakti dari Kertosari menyatakan bahwa kesenian ini muncul sesudah tahun 1965. Kesenian yang khusus keberadaannya dari Ponorogo semata ini tampil dengan mengandalkan alat musik dari jedor, kendhang dan kompang. “Pada akhir tahun 60-an memang antara seniman reyog dengan gajah gajahan tak bisa akur”, ungkap Pamujo. Namun Pamujo sendiri tak mengetahui mengapa ada perseteruan antara seniman gajah gajahan dengan reyog saat itu. Dan pada masa kecil Pamujo, ketua paguyuban gajah gajahan Kertosari, Ponorogo ini menyatakan bahwa gajah gajahan pertama kali muncul dari Pohrubuh yang pandegani oleh (alm). Pak Tulus pada tahun 1960-an.
Sementara KH Sugianto Hasanudin, Ketua STAIN Ponorogo, yaang juga saksi sejarah munculnya gajah gajahan di era tahun 60-an menyatakan bahwa “Gajah gajahan itu sebagai usaha kalangan santri, terutama para santri di Pondok Gontor untuk membuat kesenian yang lebih Islami, sebab pada saat itu kalangan santri mempersepsi bahwa reyog yang dikuasai oleh komunis tidak lagi mencerminkan nilai nilai Islami. Dilain pihak munculnya reyog CAKRA yang dibidani oleh Embah Mujab, nampaknya tidak bisa mewakili kebudayaan Islam, maka munculah gajah gajahan itu”.
Senada dengan KH Sugianto, tokoh lain seperti Kyai Suhanto (mantan Pengurus Tanfidyah NU Ponorogo) ini memberikan penilaian bahwa gajah gajahan sebagai usaha membangkitkan lagi kesenian para santri, melihat realitas reyog yang dikuasai komunis, bahkan sebagian santri dan kyai menyatakan haram keberadaannya. Gajah gajahan bagian upaya dari para ulama untuk menyalurkan bakat seni kaum santri. “Reyog dikatakan haram oleh sebagian ulama karena dilihat dari peralatan yang dipakai misalnya pakai kulit macan dan kalau kita lihat dari legendanya itu berasal dari kesenian Budha. Walaupun toh kalangan santri memiliki reyog CAKRA saya toh tak ada bedanya dengan BRP-nya Komunis, dan bisa jadi reyog CAKRA juga tak bisa menghindarkan diri dari minuman keras. Ditambah lagi, kebijakan yang selektif bagi pertunjukkan reyog (CAKRA) yang dikenakan kepada PPP oleh penguasa orde baru waktu itu. Reyog reyog santri dibawah naungan PPP waktu itu banyak yang dilarang tampil oleh aparat desa bahkan kecamatan. Itulah yang menjadi latar belakang kaum santri tak memakai reyog lantas mendidirikan kesenian baru”, imbuh Kyai Suhanto.
Kyai Suhanto melihat bahwa keberadaan reyog pada tahun 60 an lebih cenderung menjadi alat politisasi komunis dari pada sebagai media kesenian. Hal inilah menjadi alasan munculnya gajah gajahan.
Mengapa mengambil bentuk gajah?
Kyai yang tinggal di Jetis ini mengungkapkan bahwa dalam kesenian itu hendak memberikan pesan kepada kelompok kesenian lain, bahwa kaum santri telah hadir dengan pasukan gajahnya dan setiap saat bisa menggulung atau melumat harimau (baca; reyog).
Kesenian gajah gajahan oleh KH Sugianto Hasanudin, menurutnya awal awalnya diprakarsai oleh para santri di Pondok Gontor itu sebenarnya mengambil inspirasi dari musik ojrot yang populer pada tahun 1950-an. “Setelah gajah gajahan muncul pada sekitar tahun 1968, musik ojrot seakan akan lenyap, sebab baik lagu maupun beberapa alat musiknya sudah diboyong pada kesenian baru yang bernama gajah gajahan itu”, imbuh kyai nyentrik ini.
Saat ditanya, mengapa para santri pada saat itu memvisualisasikan gajah dalam bentuk fisik didalam kesenian ini? Kyai dari Pondok Jenes ini mengungkapkan karena gajah merupakan binatang yang juga dapat menjadi raja hutan, dari segi fisik dapat mengungguli ketangguhan harimau yang dianggap sebagai icon dalam reyog. Lantas, kyai NU ini menjelaskan bahwa simbolisasi hewan hewan besar dalam kesenian itu mencerminkan konteks pertarungan politik pada era itu antara reyog yang telah digenggam oleh PKI melalui BRP-nya dan kaum santri lewat gajah gajahan itu. Dalam pengakuan KH Sugianto Hasanuddin, bahwa gajah gajahan memang dimunculkan oleh kalangan Islam yang dalam pemahaman keagamaannya benar benar fanatik. Hal ini tercermin dalam lirik lirik lagu yang sering dinyanyikan pada tahun tahun 1960-an. Namun kesenian gajah gajahan benar benar dalam rengkuhan kalangan santri itu tak berlangsung lama. Saya lihat pada tahun 1970 an akhir, gajah gajah sudah tiarap. Lantas tiba tiba pada tahun 1990 an muncul kembali dan telah berubah seperti sekarang ini.
Kenapa gajah gajahan tiarap pada akhir tahun 70 an? KH Sugianto Hasanuddin menguraikan bahwa gajah gajahan tidak memiliki akar sejarah yang kuat dikalangan umat Islam, gajah gajahan masih kalah mengakar dengan hadroh maupun samproh. Akibatnya kalangan santri secara luas lebih tertarik mengembangkan hadroh dan samproh daripada gajah gajahan. Perkembangan hadroh dan samproh lebih pesat waktu itu, ini terbukti hampir setiap desa memiliki kelompok musik ini. Jadi munculnya gajah gajahan waktu itu lebih cenderung politis bukan semata mata kreasi kebudayaan yang murni. Dan terbukti, pada masa masa kampanye pemilu tahun 1971 dan 1977 gajah gajahan menjadi magnet yang menyedot massa bagi kampanye partai partai Islam waktu itu. Berbeda dengan tradisi musik ojrot, samproh, dan hadroh yang hanya mengisi ruang non politis seperti mantenan, khitanan, ataupun Mauludan.
Sebagai kesenian yang lekat dengan identitas kesantrian pada awalnya kesenian ini sering dikaitkan dengan cerita-cerita Islam. “Adalah KH Mujab Thohir (almarhum), yang pada waktu awal lahirnya gajah-gajahan sering mengkaitkan kreasi kesenian ini dengan dengan sebuah cerita penyerangan pasukan Gajah Yaman yang di pimpin Pasukan Abrahah terhadap Makkah.” Demikian tutur Pamujo. KH Mujab Thohir adalah juga salah satu tokoh reyog dari kalangan santri pada masa hidupnya.
Sebagai kesenian yang memang dibidani oleh kalangan santri, terutama pada awal awal dipopulerkan, gajah gajahan memang sangat selektif terhadap format tontotan, lagu, dan alat alat musik yang dipakai. Tak heran jika kemudian kesenian gajah gajahan hanya mengisi forum forum tertentu seperti diatas.sejak awalnya Gajah gajahan menyatakan bahwa gajah gajahan memang tidak dipergunakan sebagai kesenian umum seperti saat ini, tetapi kesenian Islam yang secara khusus dipergunakan kaum santri waktu itu sebagai sarana dakwah Islam dan propaganda politik partai partai Islam. Karena sebagai kesenian yang spesial dan hanya mengisi momen momen tertentu, maka pertunjukkan gajah gajahan temponya sangat singkat.
Namun, kini kesenian gajah gajahan telah berada dalam pangkuan khalayak luas Ponorogo, Entah siapa yang memulai? Agaknya semua orang yang tertarik dengan kesenian ini mulai mengembangkan dan merekreasinya. Gajah gajahan tidak lagi menjadi “milik” kaum santri, bahkan komunitas abangan yang rata rata juga menjadi pemusik pada kesenian reyog dengan getol pula membaur dengan gajah gajahan. Saking begitu familiar-nya konco reyog juga mulai membawa kebiasaan pada saat reyogan dalam lingkungan gajah gajahan. “Bagi kalangan gajah gajahan lama yang belum terbiasa dengan kebiasaan kebiasaan konco konco reyog memang awal awalnya terkaget kaget, namun lama kelamaan meraka juga bisa membaur”, ungkap Pamujo (Ketua Paguyuban Gajah Gajahan Anggoro Sakti dari Kertosari) saat ditanya mengenai suasana yang terjadi saat konco konco reyog menyapa kesenian gajah gajahan.
Kini gajah gajahan telah menjadi milik masyarakat luas Ponorogo, seperti yang dituturkan oleh Embah Wo Kucing, sesepuh kelompok reyog INTI, “Sholawatan itu bukan hanya sering dilakukan oleh kaum santri semata, sholawatan itu sudah umum, jadi kalau gajah gajahan dikatakan milik kaum santri kok tidak tepat. Gajah gajahan itu ya milik rakyat, wong pada umumnya yang memiliki itu desa kok. Menurut saya, gajah gajahan itu mengambil cerita dari Keraton Solo. Sebab Keraton Solo itu kan kalau melakukan upacara kirab dulu itu kan menggunakan gajah.” ujar Embah Wo.
Problema Kekinian Kesenian Gajah-gajahan
Suatu ketika saat gajah-Gajahan Kradenan mendapatkan kesempatan berpentas bersama bersama kelompok reyog Cokromenggalan pimpinan Warok Tobron, menghadiri undangan pentas ke Magetan pada hajatan seorang pengusaha disana. Saat itu Gajah-gajahan mampu mengundang antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi meramaikannya dengan cara menari dan bernyanyi, akhirnya reyog hampir tidak jadi pentas karena penonton habis ikut joget gajah-gajahan. Demikian sebagaimana yang diceritakan Bonaji.
Pandangan serupa di ungkapkan Pamujo “Kalau ada kampanye terus mengundang Gajah dan reog itu sangat ramai. Gajah dan reog itu tidak bisa dicampur, karena bunyi kempul dan bunyi jedor itu kalah, reognya kalah. Kemudian timbul perasaan tidak enak antara gajah dan reog. Sehingga kalau ada kampanye seperti itu tempatnya harus dipisah.”
Gajah-gajahan memiliki perbedaan mendasar dengan reyog, selain perbedaan bentuk fisik keseniannya. Antara lain pertama, pada awalnya reyog, masih memiliki dimensi ritual, seperti adanya daya magis dalam kesenian reyog, sementara gajah-gajahan adalah kesenian yang diciptakan untuk hiburan, media penyebaran informasi dan tentu sebagai tempat berkumpul bersama. Atau dalam bahasa Pamujo adalah kesenian ‘lingkungan’.
(Dokumentasi Gelar Budaya Ponorogo 2009)
Kedua, Sebagian juga karena faktor modal. Membeli peralatan kesenian paling banyak hanya separohnya dibandingkan membeli peralatan reyog. “ Dulu, daerah kidul Sumpil ada sekitar dua RT pemuda. Mereka setuju untuk membikin kesenian gajah-gajahan dengan mengumpulkan dana seikhlasnya. Rata-rata Rp. 5.000, ada yang 7.500 dan ada yang 10.000. Kemudian dibelikan perangkat gajah-gajahan dan dimainkan oleh lingkungan itu saja. Tampak para pemuda sangat bersemangat. Kalau diundang orang uangnya dikumpulkan, kalau pakaian gajahnya rusak dibelikan. Hanya seperti itu jarang ada dana dari fihak lain.” Demikian ungkap Pak Pamujo.
Selain memang bagi khalayak masyarakat Ponorogo, mengundang gajah untuk pentas merupakan pilihan murah dan meriah. Bagaimana tidak dengan dana sekitar 500 ribu saja orang sudah bisa mementaskan gajah-gajahan. “tahun 1990 sampai 2000 biasanya Rp. 500.000 ribu sekarang sekitar Rp. 800.000. bandingkan dengan reyog yang bisa sampai biaya 2 juta untuk mengundang sekali main”
Dalam hal mencermati perkembangan zaman, gajah-gajahan kelihatannya masih punya masa depan. Ini bisa di lihat dari fleksibilitas kesenian ini. “ Semua lagu dangdut bagi yang mahir juga bisa masuk. Lagu campur sari juga bisa, tergantung yang nyanyi. Di gajah-gajahan itu tidak ada not, jadi orang yang nyanyi di gajah-gajahan itu yang penting pas dengan gong. Fleksibilitas gajah-gajahan yang bisa mengadopsi jenis musik apapun, dengan tarian yang mudah di ikuti.” Demikian ungkap Bonaji.
Hal serupa di ungkapkan Pamujo, “ Lagunya itu macam-macam, lagu anak-anak juga pas, musik pakai jedor itu mudah saja. Asal akhir katanya sesuai dengan jedor itu ya pas. Begini contohnya :
iki lho mas gajahe wis teko
Yo gek enggal nyeluk konco-konco
Gajahe biso mlaku dhewe
Ngrenggenuk yo gajahe
Diiring mubeng desone
Ayo dipepetri seni gajah model saiki
Pancen gagah yen pinuju nunggang gajah
Katone do gembiro sebab gajahe wis teko
Nanging ojo nganti lali keselametane.
Namun satu hal yang menjadi masalah yang sulit mereka hindari, sejak reyog di angkat menjadi satu-satunya identitas kesenian Ponorogo. Segala energi telah dikerahkan untuk itu. Banyaknya anggaran pemerintah (APBD) dan gelontoran rupiah dari sponsor nasional, pun akses politik dan posisi sosial nampaknya lebih berpihak pada komunitas kesenian tertentu saja. PEMKAB Ponorogo menganggarkan hampir 1 milliar dari APBD Ponorogo (pada tahun 2004) untuk momen festifal reyog mini dan juga reyog nasional, dan belum lagi bentuk pembinaan dan pengambangannya melalui institusi pendidikan formal yang juga mendapatkan perhatian yang sangat besar.
Masalah-masalah yang dihadapi kesenian gajah-gajahan antara lain :
Pertama, belum adanya pementasan rutin dan bersifat massal Gajah-gajahan. Sebagai kesenian yang mengakar kuat di sebagian masyarakat Ponorogo, Gajah-gajahan belumlah mendapatkan posisi yang sewajarnya dimata pemerintah maupun publik/pasar. Terutama dalam kaitan, mendapatkan ruang publik yang setara. Terutama pada momentum paling penting dan bersejarah bagi Ponorogo, misalnya saat Grebeg Suro. Atau pada momentum resmi seperti Malam Pagelaran Seni Bulan Purnama, sebuah agenda rutin DInas Pariwisata Seni dan Budaya. Walaupun demikian dalam kenyataannya masyarakat sendiri, sesungguhnya menyediakan ruang pementasan bagi Gajah-gajahan dalam momentum hajatan keluarga, atau hajatan desa semisal peresmian jalan.
Namun keinginan kuat kelompok gajah-gajahan untuk mendapatkan kesempatan tampil dihadapan publik dalam acara-acara sacral seperti Grebeg Suro sangatlah kuat. Di masa awal Bupati Markum, gajah-gajahan pernah mendapatkan kesempatan mementaskan keseniannya sekali pada tahun 1995 pada momen Grebeg Suro. “ Tahun 1996 pak Markum mendatangkan gajah asli, dan kemudian terjadi kecelakaan menginjak penonton sehingga membawa korban tewas. Setelah itu gajah-gajahan, seakan di tinggalkan, dan tidak pernah hadir kembali dalam pentas dalam moment paling bersejarah bagi masyarakat Ponorogo sampai saat ini. Enam tahun yang lalu setiap desa mungkin ada, sekarang alatnya saja sudah tidak ada. Sudah banyak yang dijual dengan alasan pelakunya tidak ada.” Pamujo menyesalkan perlakuan diskriminatif yang dialami Gajah-gajahan.
“Sepertinya setiap kelompok Gajah-gajahan tidak punya keinginan agar gajah-gajahan bisa seperti reog. Kalau Reog kan memang sudah tua, sudah ratusan tahun, sedangkan gajah-gajahan tergolong muda. Jadi tidak ada keinginan untuk bisa ngremboko, seperti Reog. Hanya kalau digalakkan oleh Pemerintah seperti reog mungkin bisa juga. Tapi kalau dibiarkan oleh Pemerintah ya akan berjalan apa adanya.” lanjutnya
Kedua, adalah masalah stigma negatif, tentang tuduhan kesenian dekat dengan minuman keras. Kesenian ini dipersepsi tidak berbeda dengan kesenian tradisi lainnya, yang tidak lepas dari minuman keras. Hal ini terungkap dalam pandangan seorang warga Coper Jetis, sebuah daerah dengan beberapa pesantren besar di timur Ponorogo. Ia mengungkapkan:
“ Saya sangat suka Kesenian gajah-gajahan, namun rata-rata kesenian gajah-gajahan sering disalah gunakan. Yang saya tahu gajah-gajahan itu lagu-lagunya lagu-lagu Islami. Jarang yang pakai lagu-lagu dangdut atau pop.
…Lagu-lagunya sangat bernuansa Islami. Tapi penari dan pengunjungnya memakai minuman keras. Itu yang saya sayangkan. Jadi kalau Gajah-gajahan mau di lestarikan jangan seperti itu, lucu, lagu-lagunya Islami yang menari mabuk semua, teler semua. Kira-kira ini bertentangan dengan agama”
Mengapa Gajah-gajahan mendapatkan apresiasi positif dari kalangan santri di masa masa awal kelahirannya? Salah satunya adalah karena keberaniannya membersihkan unsur-unsur amoral terutama miuman keras dan terkesan liar dari kesenian gajah-gajahan. Bagaimanapun tidak bisa dipungkiri kesenian yang banyak digandrungi masyarakat Ponorogo adalah reyog, namun menurut Bonaji unsur minuman keras dalam reyog selalu sulit di hindari.
Hal ini di ungkapkan oleh Bonaji, ketua Gajah-gajahan Kradenan, yang juga adalah mantan jathil reyog ini, yang mengatakan bahwa :
“ hampir dapat dipastikan bahwa komunitas reyog tidak bisa lepas dari minuman keras, itu yang membuat saya kecewa dan lebih memilih mengembangkan gajah (-gajahan-red).kekecewaan saya bertambah dengan pergantian jathil menjadi perempuan, saya sudah memprediksi bahwa kaderisasi reyog bakal terganggu. Karena jathil perempuan kalau sudah menikah, tidak bisa aktif di reyog. Sekarang saja, surutnya perkembangan reyog di desa-desa sekitar saya mulai terasa.
…di dalam kesenian yang saya pimpin, larangan terhadap minuman keras adalah harga mati. Dan gajah-gajahan, lebih cocok bagi daerah kami yang merupakan daerah santri.”
Pamujo memberikan pendapatnya berkait hal ini. “ …Gajah gajahan, dari segi simbol binatang Gajah yang di jadikan salah satu instrumentnya, sudah menunjukkan bahwa Gajah adalah binatang yang mudah di tundukkan, santun serta banyak membantu pekerjaan manusia” demikian ungkap Pamujo menegaskan bahwa komunitas kesenian gajah-gajahan itu mudah dikendalikan, termasuk dalam kaitannya dengan minuman keras. Walaupun dalam kenyataannya hal ini sulit di hindari.
Walau begitu, Pamujo tidak begitu mengkhawatirkan sebab banyak juga ta’mir masjid lainnnya yang berkenan mengundang gajah gajahan miliknya. “Sekarang ini lho Mas, pelaku seni terkecuali hadroh lo Mas, pasti berbau miras, walaupun toh harus sembunyi sembunyi. Saya ambil contoh saja, sewaktu pertunjukkan gajah gajahan di Ngrambang, daerah dengan lingkungan santri yang kental, dan pertunjukkan itu dilakukan oleh pondok, kok masih saja ada yang minum walau minumnya dari rumah. Jadi kalau kesenian disini diharuskan mengikuti perilaku seperti di Arab sana, atau seperti Nabi pasti akan repot sebab pasti tidak akan dapat campur dengan masyarakat (baca; adat lokal). Kalau semuanya diharuskan seperti Arab apa bisa kalau dilakukan dilingkungan kita, itulah sebabnya gajah gajahan itu juga harus bisa srawung (baca; interaksi) dengan lingkungan kita, jangan membawa lingkungan lain ke lingkungan kita. Gajah gajahan saat ini di Ponorogo telah menjadi milik masyarakat luas ”, imbuhnya.
Stigma gajah-gajahan dekat dengan minuman keras ini menurut Pamujo, sering juga karena faktor persaingan antar kesenian. “saya punya gajah-gajahan, anda juga punya kelompok kesenian, terus untuk menurunkan citra yang lain anda membawa minuman keras.” Pamujo menjelaskan asal muasal stigma bahwa gajah-gajahan sekarang sudah banyak di cemari oleh minuman keras..
Bonaji juga mempunyai pandangan yang serupa, “ kelompok saya pernah di undang ke Sambit, sang tuan rumah pada awalnya menawarkan untuk menyediakan minuman kesenangan anak muda (baca: Miras-ed), akhirnya saat pentas sebagian besar akhirnya juga mabuk-mabukan. Kalau sudah seperti ini habis citra kesenian. Saya bingung setelah pentas itu, menjawab pertanyaan orang: kok gajah – gajahan mu sekarang pada minum bagaimana to?”
Ketiga, konflik politik desa yang melibatkan kelompok kesenian, Faktor lain yang menghantui gajah-gajahan adalah faktor politik lokal desa dimana gajah-gajahan itu ada. Namun. Di beberapa tempat Gajah-gajahan mati karena sering menjadi ajang perebutan massa, dalam pemilihan kepala desa. Hal ini terjadi berkali-kali, dibanyak tempat. Bonaji mengungkapkan :
“ misalnya jika sebuah kelompok Gajah-gajahan di arahkan memilih calon tertentu, sehingga jika ada calon lain yang akhirnya jadi Gajah-gajahan akan di tinggalkan. Oleh karena itu, saya lebih senang Gajah-gajahan tidak di buat atas nama kelompok, karena rawan di salah gunakan. Saya lebih senang gajah itu milik desa, sehingga siapapun yang jadi lurah, gajah-gajahan tetap ngremboko(baga: berkembang-ed)”
Namun untuk momentum politik yang lebih besar misalnya PEMILU, atau PILKADA, malah menjadi kesempatan yang luar biasa bagi kelompok kesenian Gajah-gajahan untuk menunjukkan kebolehannya. “gajah-gajahan sangat laku kalau musim kampanye. Kalau ada kampanye terus mengundang Gajah. Tapi khusus lagunya kita mengikut yang mengundang. Kalau yang mengundang PKB kita bikin syair-syair tentang PKB. Kalau PDI demikian juga. Saya paling suka tampil untuk kampanye.” Pamujo menganggap politik, bahkan menyediakan peluang besar bagi kelompok kesenian tradisional, selama bisa menjaga netralitasnya. “Seniman harus bisa hidup dimanapun”
Keempat, belum adanya tempat berembug bersama bagi kesenian gajah-gajahan. Sesuai dengan penuturan Pamujo, sampai saat ini belum ada pertemuan rutin, atau paguyuban yang menjadi ruang berdiskusi bagi komunitas kesenian gajah-gajahan. Mereka hanya menjalin komunikasi dengan saling berkunjung secara kekeluargaan, saat pementasan atau di luar pentas. “Misalnya, jika gajah-gajahan di Mlarak sedang main, saya usahakan hadir, untuk ikut meramaikan dengan menyanyi” jelas Pamujo. Hal senada juga di tuturkan Bonaji “kita juga saling mengunjungi seperti layaknya saudara mas, jika ada kesempatan”. Namun komunikasi secara rutin memang belum pernah di lakukan.
Karena hal itu, di beberapa tempat menurut Pamujo, beberapa kelompok kesenian Gajah-gajahan, mengalami masalah pada ketiadaan pelakunya. Karena antar kelompok Gajah-gajahan belum salaing mendiskusikan masalahnya masing-masing. “sekarang saja sudah hampir tidak ada. Lima tahun yang lalu setiap desa mungkin ada, sekarang alatnya saja sudah tidak ada. Sudah banyak yang dijual dengan alasan pelakunya tidak ada.” namun melihat dari tradisi yang berlangsung dalam Gajah-gajahan, persoalan ini sangat mungkin diakibatkan kurangnya keseringan berpentas, yang berakibat pada minimnya kaderisasi.(Mur/ring)
Sebuah artikel menarik dari blog kerabat.
salam dari kabupaten ngawi...
ReplyDeletesemoga semangat dalam mengusung budaya tidak pernah pudar....
semangat...
:D
@mawar hitam, salam kenal juga.
ReplyDeleteTerima kasih atas dukungannya...
kami berusaha yang terbaik untuk semua.. :X