Ponorogo di salah satu sudut Kabupaten Langkat

Suara riuh mengawali pertunjukan Reog Singa Barong Paskambet . Kesenian tradisional ini sengaja ditampilkan untuk menyambut rombongan tamu yang terdiri dari puluhan fans radio Mitra FM, sebuah radio komunitas di Kecamatan Hamparan Perak, Deliserdang. Tanpa sengaja, sejumlah hadirin yang rupanya memiliki kedekatan emosional dengan musik asal Ponorogo ini ikut menggoyangkan badan. Bahkan, seorang tamu yang usianya mencapai 80 an tahun – yang ternyata mantan pemain reog, ikut nimbrung bersama kelompok pemusik dan berteriak-teriak menyemangati para penari jatilan.
Jatilan merupakan pembuka pagelaran Reog. Ada dua perempuan muda usia belasan dengan pakaian tradisional menari jatilan. Secara keseluruhan tampilan tarian jatilan ini hampir sama dengan tarian dalam kuda kepang, baik peralatan yang menggunakan kuda buatan terbuat dari anyaman bambu dan kostumnya. Bedanya, dalam pertunjukan reog ini, pemusik ikut riuh menyemangati para penari. Sesekali penabuh gendang berteriak agar penari lebih bersemangat menggoyangkan tubuh.

Bisa jadi, riuh dengan teriakan dan senggakan di tengah alunan musik berbeat cepat dan keras menjadi salah satu khasnya Reog Ponorogo, menggambarkan musik yang dinamis. Bahkan seorang pemain Reog, Jumput (52) mengatakan, tanpa teriakan bukan reog namanya. “Ya beginilah kalau orang Ponorogo main reog, pasti mulutnya lebar,” ujarnya berkelakar di sela-sela pertunjukan.

Tarian Jatilan yang merupakan salah satu dari serangkaian pertunjukan Reog ini terdiri dari lima jenis yaitu ponoragan, sampak, lamongan, bagiro dan jengklekan. Masing-masing tarian ini dibedakan dari gerakannya. Keseluruahan gerakan ini menggambarkan emosi kuda dari mulai kuda bermain hingga birahi. Kalau ditarikan semua, Joget Jatilan ini bisa berlangsung selama 1,5 jam.

Yang menjadi puncak pertunjukan Reog yaitu ketika muncul Singo Barong. Atraksi Singo Barong ini semakin menarik perhatian dengan tampilan bulu-bulu merak yang dirangkai satu kesatuan dengan kepala harimau. Setidaknya ada 500 bulu merak asli untuk membuat patung ini. “Satu helai harganya Rp 6.000 dan ini harus dipesan langsung dari Jawa,” ujar Marmo (54), Pimpinan rombongan Reog. Sedangkan kepala harimau, dibuat dari kayu yang dibentuk menyerupai kepala harimau. Kulitnya terbuat dari paduan antara kulit harimau dengan kulit kambing yang diberi motif.

Awalnya, kelompok kesenian yang dibentuk 15 tahun lalu ini memperoleh kulit harimau asli dari Jawa. Tetapi lama kelamaan kulit koyak dan akhirnya bagian yang rusak digantikan dengan kulit kambing yang dilukis dengan motif harimau. Salah satu pantangan Singo Barong adalah air. Kalau sudah terkena air, bulu merak yang merekah pun hilang keindahannya. Makanya saat hujan tiba, mau tak mau pertunjukan outdoor pun dihentikan. Kecuali pertunjukan di dalam rungan.

Dengan patung Singo Barong ini atraksi Reog  pun semakin riuh. Pemain Barong dengan lincah menggerak-gerakkan Singo Barong. Selintas, Singo Barong seperti diusung di atas bahu. Tetapi sebenarnya kekuatan gigitanlah yang membuat Singo Barong nangkring di atas kepala pemain Barong. Banyak yang meyakini permainan ini menggunakan kekuatan magic (mistik). Apalagi pemain Barong mampu mengangkat (menggigit) beban seberat lebih dari 45 kg ini selama kurang lebih 30 menit sambil terus menari mengikuti alunan musik keras Reog.

Marmo, pria kelahiran Ponorogo spontan menyangkal hal ini. Khusus untuk Reog kelompoknya, hanya menggunakan kekuatan fisik melalui latihan rutin. Pemain sering pula mengalami cidera pada leher misalnya keseleo. “Kalau habis main, kita sering sulit menggerakkan rahang karena terlalu lama menggigit Singo Barong,” tambah Marmo.

Alunan musik keras Reog menjadi bagian yang tak terpisahkan. Ada tujuh jenis alas musik yang dimainkan. Alat-alat itu terdiri dari gong, gendang, tipung, serompetan, angklong dan kenong. Keseluruhan alat musik ini, lagi-lagi dari Jawa. Hanya gong yang kemungkinan bisa didapatkan di Medan. Marmo memperkirakan, untuk satu paket peralatan Reog ini harganya kurang lebih Rp 20 juta.

Pertunjukan Reog ini sesekali diselingi dengan Kucingan. Sebuah atraksi di mana pemain memisahkan antara kepala harimau dengan susunan bulu merak. Dengan kemampuannya, seorang pemain barong membuat pertunjukan kejar-kejaran antara merak dengan harimau.

Selingan yang tak kalah serunya adalah ganongan. Ganongan ini seperti goro-goro dalam pertunjukan wayang. Pemain ganongan harus memiliki kemampuan untuk berimprovisasi dengan penonton. Pemain ganongan ini biasanya juga memiliki kemampuan bermain ludruk. Pada pertunjukan kali ini, pemain ganongan berdialog dengan penonton yang diiring dengan dua penari jatilan. Guyonan segarnya mampu memancing tawa penonton. Dengan Bahasa Jawa kromo inggil para penonton dibuat terpingka-pingkal.

Mempertahankan Budaya

Jumput, pemain Reog menceritakan, pertunjukan Reog ini sebenarnya menggamarkan kehidupan rimba yang terdiri dari kuda, merak dan harimau. Singo Barong yang merupakan paduan antara merak dengan kepala harimau ini untuk menunjukkan, harimau yang menunggu burung merak sedang menari. Ketika sang merak salah melakukan gerakan tarian maka harimau siap menerkam. Gerakan dalam tarian Singo Barong ini pun seperti orang yang menerkam, berlari dan sesekali jatuh ke tanah.

Sementara dari buku terbitan Pemda Kabupaten Ponorogo pada tahun 1993 menyebutkan, sejarah lahirnya kesenian ini pada saat Raja Brawijaya ke-5 bertahta di Kerajaan Majapahit.

Untuk menyindir sang raja yang amat dipengaruhi oleh permaisurinya ini, dibuatlah barongan yang ditunggangi burung merak oleh Ki Ageng Tutu Suryo. Lebih lanjut cerita rakyat yang bersumber dari Babad Jawa menyatakan pada jaman kekuasaan Batera Katong, penambing yang bernama Ki Ageng Mirah menilai kesenian barongan perlu dilestarikan.

Ki Ageng Mirah lalu membuat cerita legendaris tentang terciptanya Kerajaan Bantar Angin dengan rajanya Kelono Suwandono. Kesenian Reog ini pertama bernama Singa Barong atau Singa Besar mulai ada pada sekitar tahun saka 900 dan berhubungan dengan kehidupan pengikut agama Hindu Siwa. Masuknya Raden Patah untuk mengembangkan agama Islam disekitar Gunung Wilis termasuk Ponorogo, berpengaruh pada kesenian reog ini. Yang lalu beradaptasi dengan adanya Kelono Suwandono dan senjata Pecut Samagini.

Kelompok kesenian Reog Singo Barong Paskambet  sendiri dibentuk bukan untuk menyindir atau tujuan politik apapun. Satu-satunya alasan adalah mempertahankan kesenian tradisional. Makanya, kelompok ini sempat berang ketika negara Malaysia mengklaim Reog Ponorogo sebagai bagian dari kesenian kekayaan Malaysia.

Sebanyak 17 orang kelompok Reog ini merupakan anggota fans radio Mitra FM. Sebuah radio komunitas yang menggagas penggeliatan budaya-budaya lokal melalui siaran dan program yang mengakomodir kesenian tradisional. Dan mempertahankan Reog Ponorogo adalah salah satu alasan paling kuat bagi Marmo, Jumput dan kawan-kawan untuk bergabung dalam wadah ini. Pembentukan fans radio yang bermoto, Penebar Pesona Kharisma Budaya Bangsa memperkuat semangat kelompok Reog ini tampil sebagai tuan di negerinya sendiri.

Kelompok kesenian ini dibentuk oleh pendatang dari Ponorogo, Tumiran (85) yang merantau ke Langkat tepatnya di Kampung Benteng Kecamatan Secanggang, puluhan tahun silam. Paskambet sendiri singkatan dari Pasar Gunung Kampung Benteng. Pemukiman pendatang Ponorogo ini terpencil jauh dari pemukiman lain. Puluhan keluarga ini berdampingan dengan perkebunan sawit yang luas serta perladangan di sekelilingnya. Iring-iringan musik Reog yang riuh memecah kesunyian yang jauh dari hilir mudik kehidupan kota. Orang-orang Ponorogo bersama musik Reognya dan kehidupanya yang bersahaja seperti sebuah penemuan “sepenggal” Ponorogo di salah satu sudut Kabupaten Langkat. 
Sumber suarakomunitas.net



Video Paguyuban Reyog Singa Barong Paskambet 
Pengembangan seni budaya Reog Ponorogo oleh Radio Kumunitas MITRA FM di Desa Pasar Gunung Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat

Comments

Popular posts from this blog

Reog Dulu dan Sekarang : di Balik Tirai Warok-Gemblak

Menikmati suasana pasar malam Ponorogo