Mitos Ngebel

 (arak-arakan tumpeng beras merah)
Ponorogo, kota Kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Timur. Disanalah terletak Ngebel sebuah kecamatan seluas 6 ribuan kilometer persegi. Letak persisnya ada di kaki Gunung Wilis. Perlu 1 1/2 jam berkendaraan dari pusat kota kabupaten.
Pada malam 1 Suro yang dalam penanggalan Islam berarti 1 Muharam, ada sebuah ritual tahunan disebuah telaga yang dipercaya sering mengambil korban jiwa.
Perjalanan berliku mengelilingi gunung dan bukit merupakan suasana yang menyegarkan. Indahnya alam di Ngebel semakin lengkap bila memandang telaganya.
 Inilah Telaga Ngebel. Tapi siapa sangka, telaga indah ini punya citra angker bagi warga setempat. Entah sudah berapa banyak orang yang tenggelama di sini.
Perahu rekreasi yang dulu pernah ada kerap tenggelam dan rusak saat melintasi telaga. Mau tidak mau, sejumlah peristiwa itu kian menguatkan angkernya sang telaga. Ingin tahu lebih lengkap, tim Teropong pun diantar Anam Ardiansyah, budayawan asal Ponorogo menemui Mbah Budiharjo yang tinggal di tepi telaga.
Warga setempat menyapanya Mbah Budi. Ia adalah penduduk asli Ngebel yang dianggap tahu banyak mengenai mitos di Telaga Ngebel.

Konon, telaga ini muncul sebagai ekses kemarahan seorang pemuda miskin bernama Baru Klinting yang sering diejek penduduk sekitar yang arogan. Klinting sendiri sebetulnya manusia jelmaan seekor naga yang dibunuh warga setempat untuk konsumsi pesta rakyat.
Kedatangan Klinting yang seperti pengemis memicu kemarahan warga yang jijik melihat penampilan sang pemuda. Hanya Nyai Latung yang berbaik hati padanya. Sang pengemis pun marah dengan kesaktiannya ia menenggelamkan seluruh desa. Hanya Nyai Latung yang selamat.
Air bah itulah yang kini dikenal sebagai Telaga Ngebel. Sejak itu pula, beragam bencana dan musibah terus-terusan mendera Ngebel. Dari mulai musim paceklik, gagal panen hingga wabah penyakit. Bencana yang selalu datang hingga kini.

Ada 4 lokasi keramat yang sering diberi sesaji oleh masyarakat. Diantaranya Gua Kumambang yang sekarang terendam air dan Gua Nyai Latung serta Bebong.

Mitos Ngebel juga terkait dengan sesepuh Reog Ponorogo Raden Batoro Katong. Ketempat petilasannya inilah sekarang Kami menuju. Batoro Katong yang merupakan putra Raja Brawijaya ke V pernah bersembunyi dari kejaran musuh dan bertapa disalah satu gua yang ada di tepi telaga.

Tempat Batoro Katong singgahpun jadi keramat. Bahkan bila salah satu warga Ngebel punya keinginan tertentu, ia melakukan tirakatan dan memberi sesaji di tempat ini. Bila malam Jumat tiba, Telaga Ngebel ramai oleh beragam sesaji dari mereka yang percaya. Puncaknya adalah saat malam 1 Suro.

Sagun Yang Tangguh

Pagi menjelang malam 1 Suro saat udara sedingin es, warga Ngebel mengadakan upacara qurban. Seekor kambing dengan bulu warna putih tidak putus melingkar bagian tengah tubuhnya atau yang disebut dengan kambing kedit akan disembelih.
Darah kambing yang ditampung di kain putih ini dihanyutkan ke muara telaga. Sang kepala akan dilarung ke telaga nanti malam dan kaki kambing akan ditanam di empat tempat keramat.
Sementara itu seorang warga bernama Sagun akan mengemban tugas penting. Ialah pembawa sesaji ke tengah telaga dalam ritual yang akan berlangsung nanti malam.Konon, tidak sembarang orang bisa membawa dan berenang menghayutkan sesaji ke tengah telaga.
Sagun sendiri mengaku tidak punya ilmu penangkal apapun selain mahir berenang. Lelaki tiga anak ini sehari-harinya bekerja sebagai pengawas pengairan di Ngebel.
Bila ada orang yang tenggelam di Ngebel, biasanya Sagun yang diminta mencari. Tak heran ia terus dipercaya sebagai pembawa larungan sesaji.

Malam 1 Suro, Kami pun kembali menuju telaga. Larung sesaji akan berlangsung malam ini. Disepanjang jalan menuju Telaga Ngebel, warga memasang obor sebagai penerangan jalan.

Tradisi menyalakan obor saat malam 1 Suro ini sudah berlangsung lama. Menambah suasana mistis yang sudah terasa sejak pagi.

Akhirnya, Kami sampai di aula kecamatan tempat larung akan dimulai. Sekitar 40 sesepuh dan dukun Ngebel berkumpul di aula kecamatan. Mereka akan tirakatan. Dalam acara ini, sejenis matra Jawa kuno dibaca bersama-sama.

Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tradisi larung saji di Ngebel ini berlangsung. Yang jelas, sang telaga seperti tak jera meminta korban jiwa.

Seusai tirakatan, saatnya menuju danau. Penerangan yang digunakan seadanya menambah aroma gaib di tempat ini. Apalagi udara sangat dingin.

Tapi semua itu tidak menyurutkan langkah para sesepuh untuk mengelilingi danau menanam 4 potongan kaki di tempat-tempat keramat.

Dalam waktu hampir bersamaan, upacara larung sesaji segera dimulai. Potongan kepala kambing yang sudah dimasak dijadikan sesaji, dihanyutkan ke tengah telaga dibawa Sagun sang pembawa.

Malam yang gelap membuat pandangan ke tengah telaga tidak begitu jelas. Semua yang hadir malam ini menanti kepulangan Sagun. Sagun memang tangguh, tak lama ia pun kembali.

Padahal selain ada kisah angker yang membayangi, air di telaga sungguh amat dingin. Usai larung sesaji kembali diadakan doa bersama sebagai ungkapan syukur. Besok pagi akan digelar kembali larung sesaji, tapi dengan nuansa berbeda.

Mengapa Ada Larung Lagi

Pagi hari 1 Suro atau 1 Muharam larungan kembali digelar. Tapi yang ini lebih sebagai modifikasi yang dilakukan pihak pemerintah daerah setempat. Dalam perkembangannya, larung sesaji yang penuh aroma gaib memang menjadi kontroversi di masyarakat Ponorogo.

Sebagai kota santri yang hampir seluruh penduduknya pemeluk Islam, larung sesaji dianggap tidak relevan dengan ajaran Islam.
Tapi disisi lain, larung sesaji sudah jadi tradisi yang melekat pada warga setempat. Pemerintah Daerah setempat kemudian berinisiatif memodifikasinya dengan larung berisalah doa.
Ini juga sebagai salah satu upaya Pemda untuk menarik wisatawan datang ke Ngebel. Karena Ngebel yang kaya potensi wisatanya ini jarang jadi tempat tujuan wisata. Kebanyakan sudah ketakutan dulu bila mendengar mitos Ngebel.

Kalau melihat jumlah pengunjung yang datang menyaksikan larungan pag ini, upaya itu cukup berhasil. Dari sisi prosesi, larung risalah mirip dengan larung sesaji yang dilakukan malam hari.

Perbedaannya ada pada jenis sesaji dan doa. Pada larung risalah ini ukuran sesajinya jauh lebih besar. Terbuat dari beras dan bahan makanan lainnya.

Nuansanya pun tidak seperti tadi malam. Mungkin karena yang hadir saat ini jauh lebih banyak. Bahkan Kami bisa ikut naik ke atas perahu mengiringi sang pembawa sesaji.

Dalam larung risalah, sesajian ini diperuntukan bagi hewan penghuni telaga seperti ikan. Selain sesaji, ikut ditenggelamkan juga kota berisi doa keselamatan kedasar telaga. Tujuannya meminta keselamatan dan perlindungan Tuhan.
Seiring dengan tenggelamnya sesaji, usai sudah ritual tahunan di Ngebel. Tak lama lagi telaga ini akan kembali tenang, kembali ditakuti. Tapi mungkin, mitos ini jugalah yang melindungi keberadaan Telaga Ngebel yang keindahannya terjaga hingga kini.

Sumber : Landscape Kota Reog Banyuagung.wordpress.com

Comments

Post a Comment

Besar harapan kami dapat memberikan jembatan untuk dapat saling silaturahmi sesama warga Ponorogo dimanapun berada.
Tinggalkan komentar anda sebagai wujud partisipasi dukungan untuk kami. Terima kasih.

Popular posts from this blog

Reog Dulu dan Sekarang : di Balik Tirai Warok-Gemblak

Menikmati suasana pasar malam Ponorogo